Jurnal Perempuan Launches Call For Papers on “Gender & Social Forestry”

Women and forest
Final papers will contribute innovative solutions to ensure inclusivity and fulfilment of the target of SDGs 5 on gender equality. 
Jurnal perempuan (JP) edition 11 is a collaboration of Jurnal Perempuan with The Asia Foundation (TAF) and the Ministry of Environment t and Forestry of The Republic of Indonesia (KLHK).  
The following article using Bahasa Indonesia. 

RELEVANT SUSTAINABLE GOALS 

Latar Belakang 

Sejak 2008 di bawah UNCFFF, pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya pencegahan deforestasi dan penekanan jumlah emisi; memberi dukungan dana untuk konservasi hutan; menghadirkan sejumlah kebijakan yang mengatur tentang pelarangan pembukaan hutan dan lahan gambut untuk seluruh wilayah di Indonesia. Berdasarkan komitmen tersebut setidaknya sejak tahun 2008, sekitar 10% (12,7 juta hektar) dari wilayah hutan Indonesia telah ditetapkan sebagai wilayah perhutanan sosial.
Berdasarkan Permen LHK No. P.83/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/10/2016, Perhutanan sosial sendiri merupakan sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan  yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat oleh masyarakat sekitar hutan atau  masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk tujuan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial. Skema perhutanan sosial memungkinkan masyarakat kawasan hutan dapat mengakses dan terlibat secara legal dalam pengelolaan hutan negara seluas 12,7 juta hektar (Menlhk 2018). Tahun 2020 KLHK mencatat bahwa terdapat 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan estimasi 9,2 juta rumah tangga yang bergantung pada eksistensi hutan.
Adapun kelompok yang merupakan bagian dari pelaku perhutanan sosial antara lain: Lembaga Pengelola Hutan Desa, Kelompok Tani, Masyarakat Hukum Adat, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan.  Selain sebagai upaya konservasi terhadap lingkungan hidup, program perhutanan sosial juga dimaksudkan sebagai program pengentasan kemiskinan. Perhutanan sosial menjadi penting sebab di dalamnya terdapat gagasan dan target bahwa pengelolaan hutan haruslah dilakukan secara inklusif. Oleh sebab itu keterlibatan komunitas lokal dan masyarakat adat adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari skema perhutanan sosial. Komunitas lokal dan masyarakat dengan demikian harus terlibat dalam dialog, pembuatan kebijakan dan mendapatkan manfaat dari program-program perhutanan sosial.  
 
Dalam kondisi ketimpangan akses terhadap hutan dan lahan, warga lokal dan masyarakat adat sering kali merupakan kelompok yang tereksklusi. Namun di dalam kerentanan tersebut perlu dikenali bahwa ada kelompok yang mengalami subordinasi berlipat.  Kelompok paling rentan dalam ketimpangan akses terhadap lahan dan hutan sering kali adalah kelompok perempuan pedesaan dan perempuan komunitas adat. Berbagai riset yang telah dilakukan di tingkat global dan nasional menunjukkan bahwa isu perhutanan sosial adalah isu yang berelasi erat dengan persoalan ketimpangan gender.  Setidaknya ada sejumlah isu yang muncul dalam hal akses dan tata kelola perhutanan sosial.  Maka penting untuk memeriksa praktik dalam perhutanan sosial, sejauh apa program tersebut memastikan inklusivitas gender dan mengambil peran dalam mendorong pemenuhan target SDGs poin 5 tentang kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan juga anak perempuan.
Menurut Cifor (2021), secara global perempuan di wilayah perdesaan tertinggal jauh bila dibandingkan dengan laki-laki perdesaan dan juga perempuan perkotaan. Beberapa persoalan ketimpangan gender dalam kaitannya dengan perhutanan sosial antara lain: (1) secara global, akses perempuan terhadap lahan, hutan dan berbagai sumber daya lainnya lebih sedikit dibandingkan laki-laki; (2) perempuan kurang terepresentasikan dan kurang memiliki pengaruh dalam pembuatan keputusan publik dan juga pada posisi-posisi kepemimpinan di dalam institusi pemerintahan terkait bidang perhutanan; (3) perempuan kurang memiliki akses terhadap teknologi juga informasi terkait hutan dan agroforestri;  (4) perempuan dieksklusi dari komoditas hutan yang bernilai ekonomis tinggi; (5) perempuan memikul beban perawatan rumah tangga dan (6) kurang terepresentasi dalam program-program mitigasi dan inisiatif terkait isu perubahan lingkungan. Seluruh kondisi ini sesungguhnya saling berkelit-kelindan. Meskipun manifestasi dari diskriminasi gender di tingkat lokal dapat berbeda di suatu wilayah dengan wilayah lainnya namun kerentanan dan sistem eksklusi terhadap perempuan dalam kaitannya terhadap perhutanan sosial memiliki irisan, yakni dalam sistem masyarakat yang patriarki kelompok perempuan di wilayah perdesaan dan perempuan masyarakat adat adalah kelompok yang paling marginal. Bahkan diskriminasi dan ketimpangan gender yang dialami oleh perempuan dapat berlipat dalam kaitannya dengan interseksionalitas terhadap identitas etnis, status perkawinan, usia dan berbagai faktor lainnya.  Maka isu marginalisasi perempuan dalam perhutanan sosial perlu diperiksa menggunakan matra feminisme.  Tujuannya agar persoalan diskriminasi gender dapat dipetakan dan direspons secara utuh.
 
Meskipun sejumlah riset di tingkat global dan nasional menunjukkan bahwa perempuan di wilayah perhutanan adalah kelompok rentan, bukan berarti keberadaan mereka tanpa agensi. Berdasarkan pendekatan feminisme multikulturalisme misalnya, meskipun dalam kondisi rentan, perempuan tidak dapat direduksi sebagai korban yang bersikap pasif atas situasi yang dialaminya. Dalam situasi-situasi ketimpangan gender sejumlah upaya pemberdayaan dan pelestarian terhadap hutan muncul dari kelompok perempuan di akar rumput.
Dalam edisi JP111, Jurnal Perempuan mencoba membangun diskursus keadilan gender dalam perhutanan sosial. Melalui penerbitan JP111 Perempuan dan Perhutanan Sosial, Jurnal Perempuan mengundang Anda untuk menulis tulisan dengan mengangkat isu terkait:
  1. Kebijakan perhutanan sosial yang responsif gender.
  2. Keberhasilan dan tantangan penerapan tindakan afirmatif untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam perhutanan sosial.
  3. Pengalaman dan/atau persoalan diskriminasi gender yang dialami oleh perempuan sebagai agensi dalam relasinya dengan keterlibatan dan akses perempuan terhadap perhutanan sosial.
  4. Keterlibatan perempuan dalam merespons dampak perubahan iklim melalui pelestarian perhutanan sosial dalam kaitannya dengan konferensi Glasgow.
  5. Capaian dan tantangan mendorong keadilan gender dalam rentan 20 tahun terakhir diberlakukannya perhutanan sosial.

Keterangan jurnal perempuan  

Jurnal Perempuan merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap empat bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari). Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoretis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian lain seperti filsafat, ilmu sosial budaya, seni, sastra, bahasa, psikologi, antropologi, politik, dan ekonomi.
 
Jurnal Perempuan telah terakreditasi secara nasional dengan No. Akreditasi:36/E/KPT/2019, peringkat SINTA 2. Semua tulisan yang dimuat di JP111 menjadi hak cipta Yayasan Jurnal Perempuan dan akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diunggah di OJS (Open Journal System) www.indonesianfeministjournal.org

TENGGAT WAKTU  

Semua tulisan diharapkan masuk ke email redaksi Jurnal Perempuan, redaksi@jurnalperempuan.com selambatnya pada hari Jumat, 14 Januari 2022. Bila ada pertanyaan harap email abby@jurnalperempuan.com dan daru@jurnalperempuan.com 
Like what you’ve read? Then sign up for our weekly newsletters!